Selama lebih dari dua dekade, transplantasi wajah telah digembar-gemborkan sebagai terobosan dalam bedah rekonstruktif, dan menawarkan harapan bagi pasien dengan cacat parah. Namun, di balik berita utama dan prestise medis terdapat kenyataan yang nyata: prosedur ini membawa risiko yang sangat besar, sering kali menyebabkan pasien mengalami kehancuran finansial dan psikologis, dan menimbulkan pertanyaan etika yang mendalam mengenai pemilihan pasien dan perawatan jangka panjang.
Fajar Bidang Kontroversial
Transplantasi seluruh wajah pertama berhasil dilakukan pada tahun 2005 pada Isabelle Dinoire, seorang wanita Perancis yang wajahnya dianiaya oleh anjingnya. Operasi yang dilakukan di Rumah Sakit Universitas di Amiens, Prancis, melibatkan pencangkokan hidung, bibir, dan dagu donor ke tengkorak Dinoire. Prosedur penting ini memicu perlombaan global untuk meniru prestasi tersebut, dan Amerika Serikat menyusul setelah melakukan transplantasi wajah parsial pertama pada tahun 2008 dan transplantasi wajah penuh pertama pada tahun 2011.
Hingga saat ini, sekitar 50 transplantasi wajah telah dilakukan di seluruh dunia. Setiap pencapaian telah menghasilkan hibah, sumbangan, dan pujian bagi para ahli bedah dan institusi. Namun yang sebagian besar masih belum dilaporkan adalah jumlah korban yang diderita pasien, banyak di antaranya berjuang dengan imunosupresi seumur hidup, trauma psikologis, dan kehancuran finansial.
Kenyataan pahit di balik berita utama
Janji akan “kehidupan normal” sering kali gagal terwujud. Pasien seperti Isabelle Dinoire mengalami komplikasi parah, termasuk penolakan dan kanker, yang akhirnya meninggal pada tahun 2016 setelah operasi berulang kali dan kesehatan mental yang memburuk. Kisahnya, yang ditindas oleh lembaga-lembaga medis yang ingin mempertahankan citra positifnya, mengungkap betapa mahalnya biaya pengobatan eksperimental.
Dallas Wiens, penerima transplantasi wajah penuh pertama di Amerika pada tahun 2011, awalnya merayakan “kehidupan barunya”, dengan menghadiri konferensi dan menjadi contoh dalam prosedur tersebut. Namun, tubuhnya akhirnya menolak transplantasi, menyebabkan gagal ginjal dan penyakit kronis. Dia meninggal pada tahun 2024, meninggalkan seorang istri dan warisan komplikasi medis.
Kegagalan Sistemik
Bidang ini dilanda kegagalan sistem:
- Data Negatif yang Disembunyikan: Peneliti sering kali mengubur hasil yang tidak menguntungkan demi mengamankan pendanaan dan prestise.
- Eksploitasi Pasien Rentan: Beberapa klinik memprioritaskan publisitas dibandingkan kesejahteraan pasien, sehingga membuat mereka menjadi perhatian media yang mengganggu.
- Jaringan Dukungan yang Tidak Memadai: Hanya sedikit pasien yang siap menghadapi beban imunosupresan dan tekanan psikologis seumur hidup.
- Kekhawatiran Etis: Transplantasi wajah mengubah individu yang tadinya sehat menjadi pasien seumur hidup, sehingga menimbulkan pertanyaan apakah manfaatnya lebih besar daripada risikonya.
Departemen Pertahanan AS telah mendanai transplantasi wajah dalam jumlah besar, memperlakukannya sebagai garda depan bagi para veteran yang terluka, sementara perusahaan asuransi swasta menolak untuk menanggung biayanya. Hal ini menciptakan insentif buruk bagi ahli bedah untuk menunjukkan hasil, meskipun hasil yang diperoleh pasien buruk. Sebuah studi Bedah JAMA baru-baru ini melaporkan 85% kelangsungan hidup cangkokan dalam lima tahun, namun gagal memperhitungkan kesejahteraan psikologis, stabilitas keuangan, atau kualitas hidup.
Ironi yang Pahit
Kisah Robert Chelsea, orang Afrika-Amerika pertama yang menerima wajah baru, menyoroti kesenjangan rasial di lapangan. Putrinya kesulitan mengenalinya, dan dia kini mengandalkan kampanye GoFundMe untuk membeli pengobatan. Kasusnya menggarisbawahi permasalahan sistemik yang lebih luas: kurangnya dukungan finansial, perawatan setelah pengobatan yang tidak memadai, dan kompleksitas etika dalam pengobatan eksperimental.
Seperti halnya lobotomi dan pemasangan vagina, transplantasi wajah pada akhirnya mungkin akan hilang atau meledak jika diawasi dengan cermat. Bidang ini harus menghadapi kegagalannya—tingkat kematian yang tinggi, kerugian finansial yang dialami pasien, dan kompromi etika—sebelum bidang ini dapat diklaim sebagai pilihan pengobatan yang tepat.
Kenyataannya sederhana: transplantasi wajah bukanlah obat ajaib. Prosedur ini merupakan prosedur eksperimental dan berisiko tinggi yang membuat kondisi banyak pasien menjadi lebih buruk dibandingkan sebelumnya. Bidang ini harus memprioritaskan kesejahteraan pasien dibandingkan prestise, transparansi dibandingkan penindasan, dan ketelitian etika dibandingkan inovasi yang tidak terkendali.
